Sejarah Balaraja, Era Kumpeni
hingga Kini
Oleh: Supiyatna
Praktisi Pendidikan, Tinggal di Desa Merak,
Kecamatan Sukamulya
Historis Tangerang Barat (Tangbar) dan
identitasnya tak lepas dari sejarah sebuah kota Balaraja. Gagasan pemekaran
Tangbar pun di lontarkan oleh Bupati Tangerang, Ismet Iskandar di kota ini.
Balaraja merupakan kota icon Tangbar sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari
masa ke masa sebagai daerah kewedanaan yang wilyahnya meliputi wilayah Tangbar
pada saat ini didesak untuk segera dimekarkan.
I.
Balaraja dari Masa ke Masa
A. Balaraja Masa Kerajaan BantenBalaraja yang terletak di Tangerang bagian barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Pertama, Balaraja berasal dari kata bala (bale)
dan raja. Bale berarti balai atau tempat persinggahan. Dan raja yang dimaksud
di sini adalah raja yang berasal dari kerajaan Banten. Artinya tempat
peristirahatan raja. Pernyataan ini dikuatkan dengan sebuah tempat pemandian
yang dikenal dengan nama Talagasari (Tempat ini kemudian menjadi nama desa).
Letak tempat pemandian tersebut tepat berada di
depan balai dulu gedung Kewedanaan Balaraja dan sekarang dijadikan gedung
Kecamatan Balaraja tersebut. Diperkirakan berada di Klinik Aroba, tepatnya di
belakang Mesjid Al-Jihad. Hal ini mengingatkan kita pada Tasik Ardi dekat Situs
Surosowan, Banten.
Ada berbagai versi mengenai diri raja yang
beristirahat di wilayah ini. Pertama ada yang menyatakan Raja Brawijaya dari
Majapahit dan Sultan Agung dari Mataram yang tercatat dalam sejarah pernah
menyerang Batavia.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Kedua, terdapat makam Buyut Sanudin letaknya
berada di Kampung Leuweung Gede Desa Parahu Kecamatan Sukamulya. Ketiga, Makam
Nyi Mas Malati di Kampung Bunar, Desa Bunar Kecamatan Sukamulya. Pejuang wanita
Banten di Tangerang.
Dan yang terakhir Makam Uyut Ambiya. Makam yang
pernah membuat heboh seantaro Nusantara karena makam ini mendadak membesar
seperti orang hamil. Dari beberapa hikayat bahwa Uyut Ambiya ini salah satu pemimpin
perang Banten versus Kompeni Belanda. Sebagian orang ada yang mengatakan Uyut
Ambiya ini orang yang sama dengan Buyut Talim.
Jika ditinjau dari persebaran bahasa. Di Balaraja
terdapat pulau bahasa Jawa Banten yang berada di Kampung Pekong Desa Saga
Kecamatan Balaraja. Kemiripan kosa kata dengan bahasa di bantaran sungai dan
pesisir pantai di wilayah kerajaan Banten.
Dari bukti-bukti tersebut Balaraja sangat kental
dengan perjuangan Banten melawan Kompeni Belanda yang berada di batas demarkasi
sebelah Timur Cisadane. Wajar saja sebab wilayah ini dibelah oleh sungai
Cimanceri sebagai jalan menuju Batavia pada waktu itu.
Adapun versi etimologi, Balaraja yang kedua. Kata
Balaraja berasal dari dua kata, Yakni kata bala tentara raja kemudian untuk
memudahkan sebuta disingkat menjadi balaraja. Versi ini juga mengakui bahwa
bala tentara raja ini berasal dari Banten.
Jika kita kaitkan dengan bukti yang tersebar di
sekitaran kota ini sangat cocok. Sebab bukti makam yang berada disekitaran
Balaraja pun dipenuhi oleh makam para pejuang yang berasal dari Banten.
Nama Kota Balaraja pernah diinterpretasi oleh
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tausiyah di Mesjid At-Taqwa, Tanjung Karang,
Bandar Lampung, 1998. Ketika itu penulis masih menjadi mahasiswa di sana.
Beliau mengatakan bahwa tanda-tanda kejatuhan Soeharto itu ditandai oleh
membesarnya (baca: Hamilnya) makam para pejuang Banten di desa Tobat.
Sign pada kata “Bala” bermakna bencana
dan “raja” itu presiden yang berkuasa dalam hal ini, Soeharto. Tempat makam
tersebut berada di desa Tobat. Bencana bagi presiden menandakan bencana yang
menimpa Soeharto dan kroninya untuk segera bertobat. Kata bertobat itu merujuk
pada nama desa tempat makam berada.
B. Balaraja Masa KolonialSejarah Balaraja ketika zaman Kolonial Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur. Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907 kemudian diganti dengan wedana.
Berdasarkan Staatblad van het Nederlands Indie
No. 185 tahun 1918 luas wilayah tersebut 1309 Km2 yang terdiri dari distrik
Tangerang, Belaraja (Blaraja) dan Mauk. Pada perkembanganya dimekarkan menjadi
empat sehingga pada tahun 1934 berdirilah Kewedanaan Curug.
Dalam ranah birokrasi kolonial Belanda jabatan
yang paling tinggi untuk bumiputera adalah wedana dan kepala jaksa. Jabatan ini
pun pada umumnya dipegang oleh bangsawan Sunda dari Priangan atau Cirebon.
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Adapun wilayah distrik tak lepas dari tanah
partikelir. Jika kita konversikan sekarang tanah partikelir di Balaraja
(1900-1910) tersebut terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke
wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk
kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan
Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan
Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear),
Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri),
Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang masuk
wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan
Kresek).
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan Tangerang tak lepas dari peran serta
komando Resimen Tangerang yang di dalamnya terdapat lasykar rakyat. Berita dari
pelaku lasykar pernah di dengar penulis dari almarhum Sersan Sawinan (mantan
TRI) ketika terjadi baku tembak antara Tentara Belanda (Gurkha) dan Lasykar
rakyat di Pasar Balaraja lama.
Beliau menceritakan bangunan pasar dibombardir
(baca: digranat) oleh tentara Belanda. Kekaguman penulis saat itu mengarah pada
struktur kekuatan beton bangunan pasar yang tetap tangguh. Mungkin sesuatu yang
susah dicari tandingannya dengan bangunan di zaman sekarang.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Masa revolusi yang menjadi catatan pahit adalah
zaman gedoran Cina. Peristiwa ini tercatat dalam berita jurnalistik sekitar
awal Juni 1946. Kampung Parahu dan Kampung Ceplak Kewedanaan Balaraja adalah
kampung yang paling banyak menelan korban warga Cina.
Peristiwa kelam ini bukan berarti melulu
kesalahan pribumi tetapi memang kesalahan sistem kolonial yang membuat pribumi
tertindas. Peristiwa ini pun diperparah dengan identifikasi pribumi terhadap
warga Cina yang menjadi mata-mata Belanda. Kerusuhan muncul mulai dari
Tangerang merambah ke daerah hingga pecah di kawasan Kewedanaan Balaraja.
Syahrir sebagai perdana menteri pada 6 Juni 1946
menyesali peristiwa penggedoran Tangerang. Esoknya Soekarno pun menyinggung
peristiwa tersebut dalam pidatonya yang berjudul “Keadaan Bahaya”.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Di Balaraja M. Natsir berpidato dihadapan massa
dan menasihati masyarakat Balaraja. Agar kerusuhan semacam ini tidak terulang
kembali karena akan merugikan pemerintah RI yang baru saja berdiri dalam meraih
citra publik di mata internasional. Dibantu oleh tokoh daerah seperti Achmad
Chotib, Syamoen dan Sutalaksana. Akhirnya warga pribumi dan Cina pun memahami
kekeliruannya.
Ada hal yang patut menjadi perhatian bagi pembaca
bahwa Balaraja pernah menjadi ibukota Kabupaten Tangerang ketika diduduki
tentara Gurkha, Belanda. Pemerintah RI mengangkat R. Achyad Penna sebagai Patih
Pemerintah RI beserta seluruh staf dan aparat pemerintah RI Kabupaten Tangerang
mutasi ke Balaraja, jabatannya pertamanya dari 1945 hingga 1949. Selanjutnya
Bupati RI di Balaraja dijabat oleh KH Abdulhadi (Juli 1946), R. Djajarukmana
(1947) hingga jabatan ini kembali ke R. Achyad Penna tahun (1950-1952).
Sebagai catatan bahwa pada masa revolusi
kedudukan pemerintah RI Kabupaten Tangerang berkedudukan di Balaraja kurang
lebih selama 7 tahun. R. Achyad Penna sebagai orang Tangerang lulusan OSVIA
Serang kemudian menjabat kembali sebagai Bupati Tangerang (1950-1952) setelah
penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI.
D.
Balaraja Masa Kini
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Seiring dengan perkembangan zaman otonomi daerah,
tahun 2007 Bupati Tangerang, Ismet Iskandar memekarkan kembali Kecamatan
Balaraja sehingga jadilah Kecamatan Sukamulya. Kecamatan Kresek dipekarkan
jadilah Kecamatan Gunung Kaler. Kronjo dipekarkan jadilah Kecamatan Mekar Baru
dan Kecamatan Cisoka jadilah tumbuhlah Kecamatan Solear. Sebagai ancangan
pembentukan Kabupaten baru yang bernama Tangerang Barat.
Secara historis Tangerang bagian barat ini sudah
sepantasnya menjadi kabupaten diiringi kelengkapan potensi pendapatan asli
daerah sangat memungkin. Letak geografis yang strategis di antara jalur lalu
lintas nasional yang cukup padat.
Pusat Industri tumbuh dan berkembang di Kecamatan
Balaraja, Jayanti dan Cisoka. Areal perumahan sebagai daerah salah satu
penyangga Ibukota sudah berdiri di setiap kecamatan yang ada di daerah ini.
Potensi pertanian tersebar di wilayah kecamatan
Cisoka, Solear, Jayanati, Sukamulya, Kresek, Gunung kaler, Mekar Baru, dan
Kronjo. Adapun potensi kelautan dan perikanan berpusat di Kecamatan Kronjo dan
Mekar Baru.
II.
Identitas Budaya Tangbar
A. Budaya
Berkesenian Di Tangbar
Budaya menurut Koentjoroningrat merupakan hasil
cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat. Kaitannya adalah berkesenian yang
didorong karena pengolahan rasa sehingga kehalusan budi tercermin dalam pribadi
masyarakatnya. Kehalusan ini akan berdampak pada aspek sosial budaya dan sosial
politik.
Dari proses interaksi berkesenian inilah budaya
pun menjadi pola pikir yang berpengaruh ke seluruh lini perikehidupan
masyarakat. Dan menjadi ‘ruh’ pijakan pemikiran yang disadari ataupun tidak
oleh individu tersebut.
Dari berbagai pengamatan dapat dideskripsikan
diantaranya berkaitan dengan jiwa kesenian yang menjadi landasan munculnya hal
tersebut di daerah ini, diantaranya adalah budaya yang bernafaskan religi, yang
berlandaskan jejak budaya proto masyarakat tersebut pun akulturasi dengan
masyarakat luar.
Di antara budaya yang berlandaskan religi,
tentunya masyarakat Tangbar yang menduduki wilayah seluas 264.03 Km dengan
jumlah penduduk 573.742 jiwa ini komposisi keberagaman pemeluk agama
masyarakatnya adalah Islam, 572.654; Katolik, 249; Protestan, 401; Hindu, 226;
Budha, 212 (Proyeksi dari Urais Kemenag Kab. Tangerang, 2008). Komposisi ini
menunjukkan budaya masyarakat setempat dipengaruhi oleh ritualitas keislaman
yang sangat kental.
Berkesenian secara umum berarti melahirkan
jiwa-jiwa seni atau budaya masyarakat. Di Tangbar budaya Islam yang bisa
dilihat adalah Marhaba Rakbi (dikenal dengan istilah Marhabaan). Uniknya, akhir
tahun 80-an Marhabaan dilakukan untuk prosesi khitanan anak laki-laki.
Sayangnya, prosesi ini hampir bahkan bisa dikatakan punah di wilayah ini.
Penggunaan prosesi ini berbeda di wilayah Banten lainnya seperti yang
dideskripsikan buku ”Profil Seni Budaya Banten” (Dispendik Prov. Banten, 2003).
Seperti di wilayah Banten lainnya, marhabaan juga
digunakan untuk prosesi pemberian nama kepada si cabang bayi. Sang bayi di arak
keliling ketika hadirin berdiri melantunkan Marhabaan diikuti nampan dengan
lilin dan kelapa muda yang dihiasi pernak-pernik uang. Pada saat diarak itulah
cukuran terhadap bayi tersebut dilakukan dan rambut hasil cukuran dimasukan ke
dalam kelapa muda. Menurut Ust. H. Nawawi (alm.) jika orang tuanya
berkelebihan, hasil cukuran ditimbang kemudian digantikan dengan emas, emas pun
dijual hasilnya kemudian disedakahkan atau dijariahkan.
Keunikan lain, dari kebiasaan masyarakat islam
Tangbar yakni selalu dikumandangkannya pembacaan manakib Syekh Abdul Qodir
Jaelani atau lebih dikenal dengan istilah mamaca. Saat penduduk akan melakukan
malam pengisiian rumah baru, pesta perkawinan, ataupun acara selamatan lainnya.
Moment yang paling khas pada prosesi mamaca pengisian rumah adalah di kala sesi
pantek paku.
Adapun pada bagian pupuh tertentu terdapat acara
Numbak, yakni mencoba meramal nasib ke depan dengan menyelipkan uang recehan
atau kertas pada lembaran halaman manakiban tersebut. Memorial acara ini
mengingatkan penulis di rumah KH Djasmaryadi ketika Pak Tile melantunkan pupuh
demi pupuh dengan suaranya yang merdu. Mamaca masih tumbuh subur tetapi
kebiasaan ikutannya sudah jarang dilakukan masyarakat saat ini.
Kesenian rakyat Tangbar lain yang hampir punah
adalah Terbang peninggalan Ibu Nyi Mas Malati sebagaian ada yang mengatakan
peninggalan Syekh Nawawi Al-Bantani yang sekarang dipimpin Bapak Sakib di Desa
Bunar, Sukamulya. Grup kesenian dimainkan oleh lima orang pemain (2 pemain
rebana, 1 pemain kecrek, 1 pemain rebab dan seorang sebagai pedendang
shalawat). Yang menyedihkan tidak ada perawat, penggali, dan penerus kesenian
ini. Diprediksi kurang dari 1 dekade lagi peninggalan kesenian ini tinggal nama
saja.
Satu alat kesenian lagi yang konon nasibnya akan
sama adalah gambang, angklung, dan bedug peninggalan Ki Buyut Kati dari
Tonjong, Kresek. Diperkirakan kemunculan kesenian buhun ini tidak jauh dari
masa keemasan Terbang Ibu Nyi Mas Malati (1658-an). Salah satu tokoh fenomenal
di wilayah ini. Pijakan hukum untuk menjaga budaya ini yang dapat dijadikan
landasan adalah UU No. 5 Thn. 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 18 (1) dan
UU No. 19 Thn. 2002 tentang 2002 tentang Hak Cipta Pasal 10 (1) & (2)
sehingga tidak ada lagi ewuh pakewuh atau ‘kebakaran jenggot’ dikemudian hari
atas pengklaiman budaya tersebut.
‘Alam’ kesenian rakyat yang tidak banyak diminati
pemuda saat ini antara lain antara lain kesenian wayang golek. Hasil wawancara
penulis dengan penggiat kesenian rakyat wilayah ini tinggal 3 grouf wayang
golek yang masih eksis di wilayah ini, antara lain: grouf wayang golek Murta
Ponah I pimpinan Dalang Murjana (Sukamulya), Murta Ponah II pimpinan Dalang
Mursidin (Sukamulya), dan Gentra Lodaya II pimpinan Dalang Agus Baskara
(Pangkat-Jayanti). Dua dalang terakhir ini konon kabarnya, sudah diakui di
kancah nasional.
Dari data yang dapat dihimpun kesenian rakyat
lain yang masih eksis adalah topeng. Kesenian ini mirip dengan lenong Betawi
atau lebih mirip dengan lakon jenaka.
Di antara grouf topeng yang masih aktif
berdasarkan penelusuran di daerah ini antara lain grouf Topeng Gentong pimpinan
Gr. Usup (Parahu-Sukamulya), Sinar Balebat pimpinan Bpk. Markata
(Benda-Sukamulya), Centong pimpinan Bpk. Said (Tonjong-Kresek), Giri Asih
pimpinan Bpk. Saudi (Koper-Kresek), Odah-Saputra pimpinan Ibu Odah (Bojong
Manuk-Kresek), Eroh pimpinan Bpk. Cekong (Cempaka-Cisoka), Canung pimpinan Bpk.
Canung (Cempaka-Cisoka), Mekar Wangi pimpinan Bpk. Padil Irawan
(Pangkat-Jayanti).
Dari sekian grouf topeng ini ke-eksistensian-nya
ditentukan para nayaga-nya yang hanya bergantung pada frekuensi panggilan para
peminatnya saja. Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian khusus para
inohong sehingga keberadaanya menjadi ikon wisata budaya daerah ini.
Harapan yang diperlukan adanya design khusus
untuk memajukannya dengan inovasi kekinian dalam rangka mendongkrak devisa
daerah. Budaya-budaya rakyat yang ada pun tidak hanya sebagai simbol dalam
seremonial untuk tujuan mempresentasikan keberadaan kesenian saja tetapi
menjadikan wahana sosialisasi program kerja unggulan Pemda dan bangsa yang
berdampak pada peningkatan indeks pembangunan manusia dan kehalusan budi
masyarakat yang semakin terkikis.
B. Budaya
Politik Tangbar
Demokrasi menjadi pilihan bangsa kita yang
majemuk terutama dalam rangka memajukkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pilihan ini yang kemudian menjadikan proses yang memakan
waktu dan kesabaran untuk menjadikan masyarakat kita melek dalam berpolitik dan
menyalurkan hasrat politiknya. Tentu saja proses pengkaderan melek politik ini
telah dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan sejak usia dini hingga manula.
Keharusan pendorong partisipasi masyarakat bagi
399,427 jiwa dari 203,796 laki-laki dan 195,631 wanita – Total DPS HP* pada 9
kecamatan di Tangbar – yang menjadi pemilih tetap pada perhelatan Pilpres
setahun lalu, akan menjadi ampuhkah nanti? Tentu, jawabannya ada dikemudian
hari. Bagi bukan menang atau kalah tetapi persentase tingkat partisipasi
masyarakat tersebut ketika pesta digelar. Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa
pada saat lepas dari perhelatan tersebut? Ternyata kita masih punya PR tentang
ini. Kita semestinya mendidik masyarakat kita agar melek politik dalam rangka
meminimalisir kekurangan dan kecurangan pesta tersebut.
Masih terbayang oleh ketika masih duduk di bangku
SMA, waktu itu, tidak ada bahasa money politics dalam Pilkades. Namun di
penghujung tahun ’90-an saat Pilkades kembali hadir penyakit itu tiba-tiba
menggerogoti naluri pemilih. Entahlah budaya semacam itu muncul di Tangbar.
Patogensi masyarakat pun semakin menggila-gila. Penulis tidak ingin
mengungkapkan dari mana ‘virus’ itu muncul. Tetapi bagaimana menghilangkan
perlahan-lahan atau jika mampu sekaligus, sehingga tidak menjadi penyakit yang
akut tingkat tinggi dan melumpuhkan pesta demokrasi di kampung kita.
Solusinya adalah mendidik politik bersih dengan
kesenian dan perhelatan dalam ritual keagamaan sehingga penghematan bisa
dilakukan. Karena pada saat itu semua lapisan masyarakat hadir dan bisa tampil
dalam rasa kebersamaan – atau dalam istilah ke-guyub-an. Tumpah ruahnya
masyarakat disaat jauh sebelum menjelang pesta demokrasi menjauhkan anggapan
apriori dan alergi masyarakat terhadap politik.
Kaum muda dan kalangan intelektual harus bergerak
ke depan dan mulai diberi kesempatan untuk sebuah tanggung jawab atas kemajuan
yang dimulai dari perubahan atas kampung halamannya. Stagnasi akan lincah
dengan sendirinya dalam proses dinamisasi zaman jika ditata dengan sebuah
harapan baru. Maka budaya politik baru akan muncul di tanah ini dengan
optimisme yang dipandu oleh jiwa bijak dari sesepuh sebagai pengejawantahan
janji yang telah terucapkan!
Tinjauan kesenian sebagai dagangan yang
bermartabat belum muncul di wilayah ini. Padahal kesenian akan memberikan
dampak yang infiltratif yang halus, lembut dan tumbuh dalam jiwa setiap insan.
Plus disokogurui dengan kegiatan ritual religi yang mampu mengarahkan keguyuban
dalam membelai manusianya untuk berfikir dan menjadikan wilayahnya baldatun
toyibatun warabun gofur.
Dari kesadaran menjaga warisan budaya guyub inilah
warga Tangbar tetap terjaga ketentramannya dari berbagai sudut. Masyarakatnya
yang someah terhadap pendatang dan berangkulan dalam setiap perhelatan akan
tetap terjaga jika diwasiti tanpa kepentingan oleh setiap aparatur baik oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
III.
Globalisasi dan Prilaku Orang Tangbar
Arus industrilisasi mengepung kampung-kampung di
Tangerang Barat perubahan mendasar pun terjadi dari masyarakat agraris menuju
masyarakat industri. Corak tata cara ini juga yang membuka cakrawala bahkan
tujuan hidup bagi masyarakat di sini. Masyarakat agraris akan berbeda dengan
masyarakat industri sebab hal ini berkaitan dengan kegiatan orang yang
berkejaran dengan target eksistensi personalitas.
Masyarakat agraris lebih banyak menciptakan
budaya guyub, gotong royong. Yang melibatkan banyak orang tanpa pamrih atau
sekedarnya. Adapun masyarakat industri akan berlomba untuk mengumpulkan
pundi-pundi pribadi sehingga hasil dari eksistensi diri lebih menonjol daripada
kolegial.
Gairah masyarakat industri lebih dinamis, cepat
dan praktis sehingga waktu merupakan hal yang begitu penting, time is money.
Berbeda dengan masyarakat agraris yang lebih tergantung pada alam sehingga
waktu pun bergantung pada iklim. Waktu pun tidak begitu ketat mengatur perikehidupan
masyarakat ini.
Simpelnya, masyarakat agraris itu didominasi
pemilik dan masyarakat industri didominasi buruh. Kedudukan masyarakat agraris
didominasi sebagai bos dan masyarakat industri didominasi pekerja (buruh). Maka
perbedaan ini akan mengubah sirkulasi sentuhan antarorang dan perilaku dari
kedua masyarakat secara kontras.
A.
Perilaku
Masyarakat Tangbar Dahulu
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan, artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Ampihan inilah yang menyebabkan orang dari daerah
lain mampu mendeteksi letak dan posisi anggota masyarakat yang dikenalnya berada.
Ampihan ini pula yang menjadi simpul ketika undangan menggarap sawah,
mendirikan rumah, kerja bakti membersihkan kampung, musibah ketika kehilangan
orang (meninggal) atau kegiatan tahlilan yang akan dilaksanakan.
Dari ampihan ke ampihan yang lain inilah yang
menjadikan budaya guyub di setiap desa di daerah Tangerang barat. Kegiatan
komunikasi mulut ke mulut waktu itu menjadi jembatan yang paling sukses.
Stasiun informasi pun cukup diparkir di satu ampihan dan setiap orang yang
menjadi anggota menyerapnya. Timbulah kegiatan ngariung sebagai pola kehidupan
bukan saja di saat momen kenduri tetapi dalam segala hal.
Dahulu mudah saja menggerakan sekelompok pemuda/i
untuk menggarap sawah cukup dengan memberi makan siang dan malam. Dahulu dengan
mudah melihat sekelompok pemuda nonton hiburan wayang atau topeng berjalan
beriringan sambil saling lempar guyonan.
Penghargaan terhadap pemudi (baca: wanita) pun
luar biasa dari pemuda-pemuda Tangbar. Ketika mereka mengencani kekasihnya itu
tidak sendirian tetapi diiringi teman-temannya.
Jika pemuda mengajak kekasihnya nonton hiburan.
Yang bergembira bukan saja kekasihnya tetapi orang tua wanita juga sebab sang
pemuda biasanya akan membawa oleh-oleh penganan seperti bacang, leupeut,
bebodor, dan kacang sangrai yang cukup banyak. Konon, bisa sebakul bahkan
sepikulan. Hal ini dilakukan baik oleh si miskin apalagi yang kaya.
Kriteria pemilihan pemuda calon mantu pun
berdasarkan pada skill sang pemuda yang sudah pintar atau mampu menyangkul,
ngored, ngawaluku atau pintar menggergaji dan mengampak kayu. Begitu pun
pemilihan terhadap pemudinya. Pemudi yang siap dinikahkan itu pemudi yang sudah
pintar ngakeul, ngejo, nandur, dan ngetem dalam tibuat, panen padi.
Sistem berkelompok ini juga dilakukan oleh
pemuda/i yang selepas magrib saat berangkat mengaji. Jika pemuda, akan berada
di depan atau di belakang membawa obor dan pemudinya berada di tengah sambil
menjungjung Quran tangan kirinya, tangan kananya memegang obor sehingga jika
dilihat dari kejauhan seperti untai naga yang membelah malam.
Budaya pembuatan obor ini pun berlangsung ramai
saat malam takbiran. Di setiap pojok kampung terdapat obor. Beduk langgar pun
berbunyi dimainkan oleh sekelompok pemuda. Biasanya dilanjutkan hingga 7 hari
pasca lebaran. Biasanya disebut ngadu beduk istilahnya beduk barungan.
Berkumpulnya penduduk pada saat lebaran
berlangsung di saat dan tempat tertentu. Biasanya H + 1 para penduduk menjejali
pemakaman. Pemakaman yang ramai itu di antaranya Makam Salak, Balaraja; Makam
Sumur Bandung, Jayanti; Makam Keramat Solear, Solear; dan Makam Pangeran Jaga
lautan, Pulo cangkir-Kronjo.
Penulis terkesan dengan banyaknya penduduk,
pedagang, dan ramainya petasan dalam berbagai jenis yang di bakar pengunjung di
Makam Salak, Balaraja. Terasa saat itu pemuda/i dari berbagai ampihan berkumpul
di tempat tersebut untuk saling sapa atau jual tampang pada lawan jenisnya.
B.
Perilaku
Masyarakat Tangbar Di Era Globalisasi
Seperti kita ketahui Tangerang adalah negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun berubah.
Industri biasanya memberikan banyak peluang
pekerjaan bagi banyak orang. Orang dari berbagai daerah berkumpul di Tangerang
Barat sehingga banyak urban dari daerah Lampung, Palembang, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bima, Sulawesi, Kalimantan, Indonesia Timor pun berkumpul.
Akibat ini pun membuka pelung orang asing dari Cina, Korea, Jepang, Eropa
bekerja di sektor ini.
Dari persentuhan budaya dan aktifitas pun mengubah
pola pergaulan masyarakat setempat. Walaupun di masa lalu sudah banyak warga
pendatang sudah ada seperti pedagang dari priangan, Jawa tengah, Jawa timur,
Madura dan Makasar sudah hadir di sini. Begitu juga warga Cina sudah ratusan
tahun mendiami daerah Tangerang Barat.
Masyarakat Tangerang Barat pada dasarnya welcome
terhadap para pendatang. Dan tidak protektif buktinya banyak penduduk di sini
yang menikah dengan penduduk luar. Akulturasi pun membentuk pola tingkah laku
yang beragam.
Pemuda Tangerang Barat pun tetap berkerumun
tetapi tidak berada di ampihan. Mereka di warung, cape, atau toserba. Sebagian
ada juga yang berkumpul di pinggir jalan, pos Kamling tetapi sifat mereka
selalu nomaden.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Yang menjadi preseden buruk bagi paradigma
berfikir penduduk Tangerang Barat yakni dalam hal pendidikan. Akibat arus industri
ini paradigma berpikir berpendidikan. Kalau dulu Orang-orang Tangerang Barat
kebanyakan sekolah untuk mendapatkan kemampuan yang mumpuni. Sekarang banyak
penduduk yang berpikir bahwa sekolah asal lulus dan muaranya adalah bekerja di
Pabrik.
Masalah asal-muasal pendidikan, besar-kecilnya
nilai, bahkan tinggi-rendahnya pendidikan bukan ukuran. Fenomena ini disebabkan
tidak ada sistem yang membedakan karena pemerintah maupun perusahaan tidak
memberikan ruang untuk kreatifitas dan prestasi seseorang. Misalnya saja
seorang sarjana yang bekerja di satu bagian produksi akan digaji sama dengan
lulusan SD.
Parahnya lembaga pendidikan pun tidak mampu
memasok manusia yang berkualified untuk menduduki jabatan yang disediakan juga
virus KKN pun telah menjalar di dunia industri. Akibatnya, paradigma ini
menjadi patokan dari tujuan akhir orang-orang Tangerang bersekolah.
Oleh karena itu, kejelian terhadap fenomena
negatif ini harus menjadi konsen bagi pemerintah maupun pemerintah daerah.
Orang-orang Tangerang Barat perlu diberikan pencerahan dalam hal ini sehingga
patut kiranya garansi bagi orang yang berprestasi dan berkarakter oleh
pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
Walhasil, konservasi sumber daya manusia yang
berprestasi perlu digalakkan di negeri demarkasi agraris dan industri ini.
Semoga era globalisasi ini tidak mencabut otak-otak brilian dari bumi
Tangbar.***
Nyi Mas Melati, Pejuang Kemerdekaan Wanita di Tangerang
Nyi
Mas Melati tercatat sebagai pahlawan wanita dalam sejarah perjuangan merebut
kemerdekaan Indonesia di wilayah Tangerang. Namanya diabadikan sebagai nama
sebuah Gedung Wanita Nyi Mas Melati di Jl. Daan Mogot dimana terdapat kantor
sekretariat TP PKK Kota Tangerang. Dan nama sebuah Jalan Nyi Mas Melati dimana
berdiri gedung Kantor KPUD Kota Tangerang.
Kisah Nyi Mas Melati pernah beberapa kali dipentaskan dalam bentuk drama kolosal di era tahun 80-an. Terakhir kisahnya kembali dipentaskan Sanggar Seribukata pada acara Gelar Teknologi Tepat Guna VI Tingkat Provinsi Banten, Juni 2010 lalu.
Tujuan utama skenario mengangkat kisah perjuangan “Nyi Mas Melati” tersebut agar generasi muda bisa mengenal dan melanjutkan perjuangannya seperti RA Kartini sebagai pahlawan emansipasi. Minimal pahlawan wanita ini, bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi muda dalam mengisi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Diutarakan Yanti, salah seorang siswi, pelajar sekolah menengah di Kota Tangerang, sejauh ini sumber tulisan atau buku sejarah perjuangan kemerdekaan di Tangerang masih sangat kurang. Padahal ini penting bagi generasi muda agar bisa mengenal dan mencontoh apa yang telah mereka perjuangkan untuk wilayah ini. “Saya juga baru tau sekarang, kalo Nyi Mas Melati pejuang wanita di Tangerang,” ujarnya.
Menurut beberapa catatan sejarah, Nyi Mas Melati adalah anak perempuan dari dari Raden Kabal yang turut dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda. Sekitar tahun 1918, Tangerang saat itu dikuasai sekelompok “Tuan Tanah” yang mendapat dukungan dari VOC. Mereka menguasai berbagai sendi kehidupan masyarakat; bidang sosial, ekonomi hingga budaya.
Karena terjadi tekanan, pemerasan, dan pemaksaan sehingga membuat kehidupan rakyat pada masa itu sangat menderita. Pemberontakan-pemberontakan rakyat pun akhirnya meletus, salah satunya pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Kabal. Nyi Mas Melati, puteri R Kabal pun tidak mau tinggal diam dan turut dalam pertempuran melawan pasukan penjajah.
Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, salah satu diantaranya Pabuaran Ti Subang yang kini dijadikan nama wilayah Pabuaran Subang. Menurut catatan juga konon Nyi Mas Melati dimakamkan di Balaraja, Kabupaten Tangerang. Namun sumber lain menyebutkan Makam Kramat Nyi Mas Melati berada di Pulau Panjang, Pulau Kelapa, kepulauan seribu.
Kisah Nyi Mas Melati pernah beberapa kali dipentaskan dalam bentuk drama kolosal di era tahun 80-an. Terakhir kisahnya kembali dipentaskan Sanggar Seribukata pada acara Gelar Teknologi Tepat Guna VI Tingkat Provinsi Banten, Juni 2010 lalu.
Tujuan utama skenario mengangkat kisah perjuangan “Nyi Mas Melati” tersebut agar generasi muda bisa mengenal dan melanjutkan perjuangannya seperti RA Kartini sebagai pahlawan emansipasi. Minimal pahlawan wanita ini, bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi muda dalam mengisi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Diutarakan Yanti, salah seorang siswi, pelajar sekolah menengah di Kota Tangerang, sejauh ini sumber tulisan atau buku sejarah perjuangan kemerdekaan di Tangerang masih sangat kurang. Padahal ini penting bagi generasi muda agar bisa mengenal dan mencontoh apa yang telah mereka perjuangkan untuk wilayah ini. “Saya juga baru tau sekarang, kalo Nyi Mas Melati pejuang wanita di Tangerang,” ujarnya.
Menurut beberapa catatan sejarah, Nyi Mas Melati adalah anak perempuan dari dari Raden Kabal yang turut dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda. Sekitar tahun 1918, Tangerang saat itu dikuasai sekelompok “Tuan Tanah” yang mendapat dukungan dari VOC. Mereka menguasai berbagai sendi kehidupan masyarakat; bidang sosial, ekonomi hingga budaya.
Karena terjadi tekanan, pemerasan, dan pemaksaan sehingga membuat kehidupan rakyat pada masa itu sangat menderita. Pemberontakan-pemberontakan rakyat pun akhirnya meletus, salah satunya pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Kabal. Nyi Mas Melati, puteri R Kabal pun tidak mau tinggal diam dan turut dalam pertempuran melawan pasukan penjajah.
Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, salah satu diantaranya Pabuaran Ti Subang yang kini dijadikan nama wilayah Pabuaran Subang. Menurut catatan juga konon Nyi Mas Melati dimakamkan di Balaraja, Kabupaten Tangerang. Namun sumber lain menyebutkan Makam Kramat Nyi Mas Melati berada di Pulau Panjang, Pulau Kelapa, kepulauan seribu.
0 komentar:
Posting Komentar